Hingga saat ini pembelajaran matematika atau matematika sekolah lebih banyak mengarahkan perhatian kita kepada apa yang disebut pembelajaran Matematika Tradisional dan Matematika Modern (new math).
Pengajaran Matematika Tradisional yang berkembang hingga sekitar tahun lima puluhan menekankan kepada: (1) materi berhitung di Sekolah Dasar dan Ilmu Ukur serta Aljabar di Sekolah Menengah yang di ajarkan dengan metode drill, (2) peserta didik adalah orang-orang pilihan, anak para penguasa, bangsawan, orang kaya atau orang tertentu yang mendapat kehormatan dan (3) bagaimana mengasah otak, dengan doktrin disiplin formal (formal discipline), sehingga kegunaan dari materi yang diajarkan bukan tujuan utama.
Pengajaran Matematika Tradisional dengan penekanan utama pada kemampuan berhitung dan ilmu ukur, pada akhirnya kurang mampu melayani perkembangan ilmu-ilmu lain. Misalnya engeneering. Akibat dari keterbatasan materi pada pengajaran Matematika Tradisional di satu sisi, dan perkembangannya ilmu-ilmu yang membutuhkan matematika semakin pesat di sisi lain, maka para pakar matematika, pendidik matematika, pemerhati dan pengguna matematika memikirkan untuk menambah materi matematika sekolah dan diajarkan dengan pendekatan yang membuat siswa lebih aktif dalam pembelajaran. Akhirnya lahirlah Matematika Modern.
Latihan mengasah otak melalui pengajaran Matematika Tradisional, pada akhirnya juga semakin terasa kekurangannya sejalan dengan perkembangan dan tuntutan materi matematika yang semakin kompleks. Kemampuan siswa untuk mengaitkan satu permasalahan dengan masalah yang lain semakin dituntut. Oleh karena itu, teori pengaitan (connectionism) dari Thorndike mulai diperkenalkan dalam pengajaran Matematika Tradisional. Akibatnya, urutan atau hierarki topik-topik pelajaran matematika menjadi lebih penting. Selain itu, ada topik tertentu dalam matematika dituntut untuk lebih lama diajarkan daripada topik-topik lain.
Pada tahun 1930-an pengajaran Matematika Tradisional di Indonesia lebih banyak di warnai oleh pandangan John Dewey dan William Brownell. Dewey dengan teori progressive education menekankan incidental learning. Pandangan ini meyakini bahwa anak akan termotivasi belajar matematika jika sesuai dengan kebutuhannya dan dilakukan secara tidak sistematis. Pembelajaran dengan incidental learning menuntut guru menunggu kesiapan siswa untuk belajar matematika. Guru terlebih dahulu menumbuhkan suasana untuk timbulnya minat akan kebutuhan belajar matematika bagi siswa.
Sementara itu, Brownell yang ikut mewarnai pengajaran Matematika Tradisional di Indonesia menekankan pentingnya belajar matematika bermakna dengan pemahaman yang mendalam. Pengajaran matematika bermakna tidak bertentangan dengan metode drill. Siswa tidak dilarang untuk menghafal konsep, aturan atau rumus-rumus matematika, setelah terlebih dahulu mereka memahaminya dengan baik. Teori belajar bermakna Brownell juga sejalan dengan teori belajar Gestalt dalam pengajaran Matematika Tradisional.
Label: Education
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar